Karena Semua Hanya Titipan

Tanggal 4 September 2019 menjadi titik balik di hidupku. Ketika Allah swt mengambil suamiku, melalui penyakit bronchitis & pneumonia, yang berujung pada pecahnya pembuluh darah di bagian arterinya. Suamiku perokok berat. Nikotin yang ia konsumsi selama hidupnya telah menyebar di seluruh bagian paru-paru, yang seketika membuatnya sesak nafas hebat. Hingga akhirnya ia tak tertolong lagi.

Hari itu hari Rabu. Kelabu. Suamiku menghembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit di kawasan Jakarta Barat, pukul 01:50 WIB. Meninggalkanku seorang diri, tanpa anak. Meninggalkan Ayah dan adiknya. Suamiku pergi untuk selama-lamanya, menyusul Ibunya yang meninggal lebih dulu di bulan Juni 2019.

Kehilangan pasangan oleh karena kematian sungguhlah berat. Mungkin berbeda dengan pasangan yang berpisah lewat perceraian; yang lazimnya dipicu oleh hal-hal tak mengenakkan. Sehingga, pasangan yang telah bercerai konon relatif lebih cepat move on.

Sedangkan pasangan yang ditinggal mati itu cenderung susah move on. Kematian tak hanya menyisakan kedukaan mendalam, tapi juga menggulirkan perasaan nelangsa karena teringat berbagai memori indah yang dijalani bersama pasangan semasa hidupnya. Terlebih lagi bila pasangan yang meninggal adalah orang baik. Sebagaimana suamiku, lelaki terbaik yang berpulang dengan cara yang baik, dan dikenang pula oleh teman-temannya sebagai orang baik yang suka menolong.

Sepuluh tahun silam, seiring aku pertama kali hijrah ke Jakarta, begitu banyak impian yang aku ukir. Berbagai harapan dan ambisi yang ingin aku raih. Tahun berganti menyisakan resolusi, yang sebagian besar terwujud sempurna. Yang perlahan membuatku jumawa dan amat mendewakan logika. Seakan lupa bahwa ada Allah yang Maha Menentukan segalanya. Dan kini, satu dekade berselang. Tahun 2019, berbagai cobaan hebat menerpa. Juni aku kehilangan ibu mertua yang amat kucintai. Lalu pada September, belahan jiwaku pergi menyusul sang ibu.

Kini, kehidupan ibu kota sudah tak menarik lagi bagiku. Jakarta tak lagi menjanjikan apa pun sepeninggal almarhum suamiku. Di setiap sudut ibu kota, terlintas bayang-bayang mendiang suamiku tercinta. Dan itu terasa menyesakkan dada, menyisakan perih di hati. Maka keputusan terbaik saat ini yaitu kembali pulang ke rumah Ibuku di Surabaya. Kembali jadi 'anak ibu'. Tinggal berdekatan dengan adik-adikku.

Untuk saat ini, aku belum memikirkan soal pekerjaan. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan menguatkan jiwaku. Maka beruntunglah aku dikaruniai keluarga yang amat mencintaiku. Yang menerimaku apa adanya, mencintaiku tanpa syarat. Mereka kini adalah kekuatan terbesarku. Penyokong hidupku.

Sungguh tiada lagi hal duniawi yang ingin kugenggam erat. Semuanya hanya titipan. Nyawa orang-orang tercinta saja bisa diambil bila Allah mau. Apalagi yang hanya berupa jabatan, kedudukan, harta, uang, dan lain sebagainya.

Maka tak seharusnya kita berlebih-lebih dalam mengagungkan hal duniawi. Tak semestinya kita terlalu dalam mencintai apapun, apalagi yang sampai melebihi rasa cinta kita kepada Allah swt. Naudzubillah himindzalik! Allah berhak penuh menentukan segenap takdir, termasuk mengambil apa pun yang kita cintai. Kita sebagai manusia tinggal mengikuti alur-Nya. Berpasrah diri kepada-Nya, ikhlas dengan segala ketentuan-Nya.

Sungguh hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui atas apapun yang terjadi dalam hidup kita. Segala hal di dunia yang hanya titipan, yang sewaktu-waktu bisa Allah ambil. Sepeninggal almarhum suamiku, aku tidak lagi menginginkan banyak hal. Aku pasrahkan semuanya pada Allah. Terserah Allah aja mau membawa takdirku ke mana. Aku, manusia biasa dan lemah ini, hanya bisa pasrah mengikuti skenario-Nya.

Semoga Allah terus berikan aku kekuatan untuk menjalani masa-masa sulit ini. Amin.


Surabaya, 16 Oktober 2019


Comments

Popular Posts