Kembali Pulang ke Keluarga

Sudah sebulan lebih aku tinggal numpang di rumah Ibu. Bersua setiap hari dengan keempat adik-adikku yang di luar dugaan sungguh menguatkanku. Mereka yang bersama-sama saling bahu membahu menyokong sang Kakak yang baru saja ditinggalkan kekasih hatinya.

Awalnya memang aneh ketika perempuan berusia 35 tahun sepertiku, yang seharusnya sudah settle dengan pekerjaan dan kehidupannya, malah memilih tinggal bersama Ibu. Kembali menjadi 'anak ibu' di usia yang sudah mendekati kepala empat. Tinggal di rumah tanpa pekerjaan tetap. Bangun tidur, makan, sedikit membantu bisnis Ibu, beribadah, makan, lalu kembali tidur. Begitu terus. Tak ubahnya tokoh utama dalam film 'Young Adults'.

Seorang teman baik di Jakarta mengirim pesan. Bertanya, "Bagaimana perasaanmu hidup di Surabaya?" Kujawab, "Baik. Aku merasa lebih tenang di sini."

Jakarta dan Surabaya sebetulnya tak jauh berbeda. Sama-sama kota metropolitan. Hanya bedanya, Surabaya lebih panassss. Sumuk setiap waktu, dengan cuaca menggerahkan yang suhunya terkadang bisa mencapai 37 derajat. Lalu, perbedaan lainnya terletak pada karakter kotanya. Surabaya yang meski sibuk, cenderung sedikit lebih 'selaw' daripada Jakarta. Ada semacam jeda yang membiarkan para warganya untuk bernafas sejenak di tengah keriuhan suasana dan aktivitas mereka. Surabaya menawarkan kehidupan yang buatku lebih menyehatkan jiwa dan mewaraskan pikiran, ketimbang ibu kota.

Memang, kalau soal keruwetan hidup, Jakarta juaranya. Kemacetan tiada akhir, persaingan yang sakit, politik kehidupan yang payah, serta kepalsuan yang nyata. Jiwa-jiwa yang tidak siap akan terhanyut oleh trik-trik tersebut. Yang kemudian ikut menjadi bagian dari keruwetan ibu kota. I've been there and done that. Dan tak mau lagi mengulanginya.

Di Surabaya, aku merasa lebih nyaman. Meski sebelumnya, aku paling takut kembali tinggal menumpang di rumah Ibu. Sejak menikah saja, aku anti merepotkan keluarga. Berupaya berdiri di kaki sendiri meskipun hidup sangat sederhana.

Namun, ketika takdir yang berbicara, mau bilang apa?

Ketika akhirnya suami aku diambil Allah. Meninggalkanku seorang diri tanpa buah hati. Membuat jiwaku kering kerontang.

Penyejukku telah hilang. Separuh nyawaku pergi, dan tak akan kembali.

Dan ketika tidak ada lagi pilihan terbaik selain: kembali ke keluarga. Pulang ke Surabaya. Kampung halaman tempatku bertumbuh selama 25 tahun lamanya. Seketika gengsi untuk tak merepotkan keluarga pun lenyap. Tidak ada lagi daya untuk jumawa. Sebab hanya keluarga yang bisa menguatkan jiwa, mencintaiku apa adanya.

Aku saat ini betul-betul ingin menenangkan diri. Tidak mau terkait dengan urusan yang memberatkan. Soal pekerjaan, aku pun pasrah. Menyerahkan sepenuhnya kepada Allah swt untuk membawa takdir karierku ke mana pun Dia Mau.

Aku bahkan kini berpikir untuk lebih banyak mengabdi dan memberi. Mengabdi kepada keluargaku, pada ibuku & adik-adikku, yang telah kutinggal 10 tahun lamanya. Dan memberi kepada mereka yang membutuhkan dan terpinggirkan, baik berupa rezeki yang disisihkan dan ilmu yang dibagikan.

Allah sedang menguji keimananku. Menguji rasa cintaku dan kesetiaanku pada-Nya. Mungkin, ini juga cara Allah untuk membuatku kembali pulang ke pelukan keluarga. Untuk mengabdi, mengayomi, dan berbakti kepada Ibu.

Keluarga. Mereka lah penguat terbesarku.


Surabaya, 19 Oktober 2019







Comments

Popular Posts