Teruntuk Kamu, Kekasih Gelapku

"Kau memang Ayah dan kekasih yang baik. Namun, kau suami yang busuk!"

Sudahilah bujuk rayumu itu. Kini ku sudah menyadari, kamu hanya kekasih semu. Kekasih tak nyata yang memang menyertai perjalanan hidupku sejak lima tahun lalu, di saat pertama kali kita bertemu. Tapi kini ku sadar bahwa sosokmu hanya semu. Sosok yang tidak perlu dipikirkan hingga melibatkan hati. Kamu yang mementingkan dirimu sendiri, bermain dengan banyak kekasih meski kau telah beristri.

Aku tidak paham dengan cara berpikirmu. Atau mungkin aku yang terlalu bodoh untuk mencapai pemikiran maupun prinsip hidupmu. Kau telah beristri. Istrimu cantik, pintar, dan berkelas. Istrimu perempuan baik-baik, yang menghormatimu sebagai imamnya. Menutup aurat untuk menjaga diri dari sikap nakal laki-laki lain. Dan yang terpenting, istrimu yang telah menjadi ibu hebat bagi dua anak-anakmu.

Tapi kau malah bermain nakal dengan banyak perempuan, termasuk aku, yang pernah jatuh hati padamu. Kamu memang punya pesona dan daya tarik cukup kuat. Yang boleh jadi, sulit bagi perempuan dewasa untuk menolak daya pikatmu. Aku pernah terpikat padamu. Pernah jatuh hati padamu. Dalam waktu yang cukup lama. Sosokmu merasuki pikiranku. Mencuri hatiku. Mengetuk jiwaku. Sempat aku nyaris terpuruk karena terlalu jauh menyayangimu. Padahal, kamu hanya semu. Yang hanya berhasil mondominasi khayalku, nyaris menguasai hati dan perasaanku.

Aku bersyukur akal sehatku masih berjalan. Ketika aku memutuskan untuk menghapus bayangmu, mengeblok akses medsosmu, dan melupakanmu. Terhitung sejak aku menikahi almarhum suamiku. Aku ingin mengabdi dan berbakti padanya, lelaki pilihan Allah, pemimpin keluarga dan imamku. Dengan niat beribadah kepada Allah, aku mengabdi pada suami. Aku menutup buku masa laluku, termasuk menghapus segala kenangan bersama kamu.

Namun, ketika suamiku meninggal dunia, aku kembali menghubungimu lagi. Hanya ingin menyambung tali silaturahmi. Dan ingin memastikan bagaimana perasaanku padamu. Ternyata, rasa sayang itu masih ada. Meski ada pertanyaan besar yang mengganjal, yang belum pernah terjawab dari sejak awal aku bertemu kamu. Benakku pun seakan mendorongku untuk menemuimu secara langsung.

Maka, berjumpalah kita berdua. Kulepaskan segala kerinduanku yang menumpuk bertahun-tahun lamanya. Kutuangkan rasa sayang yang telah tertahankan sejak lama. Kamu pun menanggapinya, meski kau sambut kedatanganku dengan cerita-cerita yang menyakitkan hati. Dengan bangganya kau ceritakan perempuan mana saja yang menginginkanmu. Kamu yang sibuk menelepon beberapa perempuan, sekadar memberi kabar bahwa kau sudah sampai dengan selamat. Dan aku menontonnya seperti orang bodoh yang telah terpeperdaya oleh bujuk rayumu.

Dan seketika segala pertanyaan yang mengganjal itu pun terjawab.

Aku bukan lah kekasih gelapmu satu-satunya. Kau bermain dengan bayak perempuan. Lalu kau masih menyalahkan aku, karena meninggalkanmu untuk menikahi suamiku? Di mana akal sehatmu?

Sudah. Sudahlah, Mas... Sudahi semuanya sampai di sini. Aku harus mengambil langkah untuk meninggalkanmu. Kamu bukan imamku, bukan pula suamiku. Mengapa aku harus tunduk padamu? Mengikuti alur permainan cintamu, dengan hati yang teriris perih menyaksikan segala ulah bodohmu: memacari banyak perempuan muda sekaligus dalam satu waktu. Kau yang telah sejuta kali bermain serong di belakang istrimu.

Mungkin kamu bangga bisa menjadi pria idaman banyak perempuan. Bisa digilai banyak wanita. Tapi, sebagai lelaki sejati, apa yang akan kamu pertanggungjawabkan di akhirat nanti? Ketika seorang suami yang seharusnya menjaga hati dengan menjadi setia kepada istri, justru bermain gila dengan banyak perempuan di luar sana? Naudzubillah himindalik.

Subhanallah, Mas.... Tiga tahun aku menikah dengan suamiku, banyak sekali pelajaran berharga yang kudapatkan. Banyak hikmah baik yang aku petik. Yang membuatku sadar akan Kuasa Allah atas segala apapun di dunia ini.

Aku memilih untuk meninggalkanmu, karena aku menyayangi diriku sendiri. Usiaku sudah 36 tahun dan aku tidak ingin membuang waktu dan energi untuk menjalani kerumitan cinta dan kesemuan semacam ini. Aku telah melewati badai yang lebih berat. Suami yang aku cintai diambil oleh Allah. Kesedihan dan energiku telah terkuras habis untuk menangisi takdirku itu. Maka jelas aku tak punya waktu untuk menceburkan diri pada hal-hal bodoh semacam ini.

Aku ingin hidup tenang di jalan Allah. Ingin bertaubat pada Allah. Dan, ingin menjaga nama baik keluargaku. Kembali menciptakan bonding dengan Ibu dan Adik-adikku. Maka ku tak ingin segala niat baik tersebut dinodai oleh hal-hal konyol semacam ini.

Silakan kamu urusi pacar-pacar semu mu itu. Yang tidak akan pernah kamu nikahi, kecuali bila kamu sudah kehilangan akal sehat untuk meninggalkan istri dan anak-anakmu. Silakan berkutat dengan kekasih-kekasihmu yang katamu tersebar rata di segala penjuru bangsa. Silakan. Hapus namaku dari daftar kekasihmu. Aku tidak akan pernah mau ikut campur dengan hal konyol seperti itu lagi. Anggap saja perjumpaan semalam adalah penuntas kerinduan dan penyelesaian atas semua pertanyaan yang mengganjali benakku.

Enough is enough for me. Kamu tetap temanku. Aku akan tetap jalin silaturahmi denganmu. Tidak akan aku blokir akses medsosmu. Kita tetap bisa saling berkabar, sebagai teman biasa. Pesanku, ingat mati, Mas. Ingat apa yang akan kau pertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat nanti. Mungkin istrimu saat ini tidak tahu menahu bagaimana kelakuanmu di belakangnya. Sekali pun tahu, naluri kesabaran dan ketabahannya sangat mungkin memaafkanmu, suami yang amat ia cintai.

Aku hanya ingatkan, jangan sampai Allah swt yang tidak terima. Sebab, bila Dia sudah murka, akibatnya bisa fatal. Semoga masih ada waktu bagimu untuk menyadari, bertaubat, dan segera menyudahi segala permainan konyolmu itu.




Comments

Popular Posts